Debu
kosong, kopiku menguap panas dan embunnya mengapas
dan jalanmu setapak, tak, tik, tuk, seiring waktu di loncengnya
mendekatiku wahai debu dan angin
mengepungku, tapi kamu tertawa, aku melongo. bingung menatap mu
tatapanmu menikam, seperti debu
-dan aku sesak dibuatnya-
Hujan
yang rintiknya jatuh berdebum, tapi tidak kesakitan. aku menangis lebih kencang
payung mu sehitam siluet malam, dan dirimu di bawahnya.
aku wanita, dan kamu bukan waria. kamu lelaki.
harus lebih jantan dari tegapnya tulang punggung
apakah aku rusukmu yang tercipta dengan melodi?
hujan. jatuh dan mengalir
yang awannya tebal mengepung
yang rintiknya jatuh berdebum, tapi tidak kesakitan.
aku menangis lagi, jauh lebih kencang
Aksara
kata nya aku mengeram atau memanen seperti harimau dan petani
dan aksara mulai murka bahwa disana sini seorang petinggi
aku berdiri di tengah rel, bertanya kapan Pelindas datang dan sirine tuut, tuut
kaki lumpuh yang terdesak berjalan kepada Pak Presiden
seperti ritus yang sakral tapi tak acuhkan yang tertimang
wahai Anakku,
ibumu menggendong sejak sembilan bulan, tapi
gigimu yang ku rawat bukan untuk menghalalkan yang haram
matamu yang kujga bukan untuk melulu melihat ke ranjang
murkaku, wahai
dan duhai anakku,
bila laksamana datang dengan belati, maka bercerminlah
bahwa kau lebih ganas olehnya, lebih garang, lebih mengabu dan siap terhujam
bila aku seorang pengetik, maka terlalu ceroboh bila
aku mencuri alasan untuk tetap menjadi harimau yang mengeram
Pelindas datang tuut tuut
aku menyingkir gemetar dari atas rel, bangku disana sini kosong
sepertinya kotak sampah-itu-juga
dikemanakan Duhai?
wahai Anakku, aku sudah keriput
sudah rapuh dan gampang sekali untuk luruh
bahkan sudah tak mampu untuk berhitung satu dua tiga
aku sudah terlalu pikun,
tetapi jangan mati Anakku
jangan padam seperti kayu yang siap mengabu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar